Rupiah masih tertekan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Pada penghujung Februari ini ada sejumlah data ekonomi seperti inflasi PCE hingga klaim pengangguran AS yang bakal mempengaruhi gerak mata uang Garuda lebih volatile .
Menurut laporan dari Refinitiv, pada hari sebelumnya, Rabu (28/2/2024), rupiah ditutup pada level Rp15.680/US$, mengalami pelemahan sebesar 0,29% secara harian. Pelemahan ini merupakan kelanjutan dari tren depresiasi yang telah terjadi sehari sebelumnya, dengan penurunan sebesar 0,06%, dan menandai keempat kalinya rupiah melemah secara beruntun. Selama hampir satu minggu terakhir, rupiah terus melemah terhadap dolar AS, dipengaruhi oleh berbagai sentimen defisit yang muncul, baik yang terjadi belakangan ini maupun proyeksi defisit yang semakin membesar ke depan.
Pada kuartal IV-2023, defisit transaksi berjalan Indonesia melebar menjadi US$ 1,3 miliar, sementara total defisit tahun 2023 mencapai US$1,6 miliar atau 0,1% dari produk domestik bruto (PDB). Di sisi lain, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 mencatat defisit sebesar Rp347,6 triliun atau 1,65% dari PDB. Kondisi twin defisit ini telah mengakibatkan pandangan investor asing terhadap perekonomian Indonesia menjadi kurang optimis, yang pada akhirnya memicu depresiasi rupiah.
Ekonom dari CIMB Niaga, Mika Martumpal, menegaskan bahwa twin deficit seringkali memberikan dampak negatif pada pasar keuangan Indonesia, meskipun faktor-faktor seperti suku bunga dan prospek pertumbuhan global juga berpengaruh terhadap stabilitas pasar.
Hari ini, Kamis (29/2/2024), di akhir bulan Februari, beberapa data ekonomi penting dari AS akan dirilis, termasuk data inflasi PCE dan klaim pengangguran mingguan. Pelaku pasar akan memantau dengan cermat data-data tersebut karena mereka dapat memengaruhi kebijakan Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), terutama terkait kebijakan suku bunga di masa mendatang.
+ There are no comments
Add yours