Mata uang ringgit Malaysia telah melanjutkan penurunannya ke level terendah sejak krisis keuangan Asia 1998 karena lesunya perekonomian China yang membebani Negeri Jiran tersebut.
Ringgit Malaysia mengalami pelemahan signifikan melewati ambang level 4,8 terhadap dolar AS pada hari Selasa, mencapai titik terlemahnya sejak tahun 1998, yakni 4,8850. Penurunan ini menandai penurunan lebih dari 4% sepanjang tahun 2024, dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat dari proyeksi pada kuartal III/2023, terutama karena penurunan ekspor ke China serta kontraksi dalam aktivitas manufaktur yang berlangsung selama 17 bulan berturut-turut. Arus keluar obligasi asing terbesar dalam lima bulan terakhir pada Januari 2024, sebesar US$382 juta atau sekitar Rp5,9 triliun, semakin menekan nilai ringgit.
Analis dari Australia & New Zealand Banking Group, Khoon Goh, mengindikasikan potensi penurunan lebih lanjut menuju level terendah baru sepanjang masa, merujuk pada ketidakpulihan ekspor Malaysia dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Namun, mayoritas analis memperkirakan bahwa ringgit akan menguat kembali menjelang akhir 2024 seiring momentum pertumbuhan ekonomi Malaysia. Christopher Wong, seorang ahli strategi mata uang di Oversea-Chinese Banking Corp. di Singapura, menyatakan bahwa peningkatan ini dapat mengurangi perbedaan imbal hasil antara AS dan Malaysia, yang pada gilirannya akan mendukung mata uang tersebut, sementara ia memperkirakan bahwa ringgit masih memiliki ruang untuk pulih dari penurunannya.
Bank Sentral Malaysia, melalui Gubernur Abdul Rasheed Ghaffour, menanggapi penurunan nilai ringgit dengan mempertimbangkan prospek ekonomi negara. “Performa ringgit baru-baru ini, seperti halnya mata uang-mata uang regional lainnya, telah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal,” ujarnya. Ghaffour menyatakan bahwa nilai ringgit tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi ekonomi yang akan datang, disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Dia optimis bahwa pemulihan permintaan eksternal dan pertumbuhan belanja domestik akan mendorong pertumbuhan ekonomi, sejalan dengan proyeksi IMF tentang peningkatan perdagangan global. Peningkatan pertumbuhan ekspor sejak kuartal IV/2023, pemulihan industri pariwisata, dan momentum investasi yang meningkat, menjadi indikator positif bagi penguatan ringgit tahun ini.
Sementara itu, Menteri Keuangan Malaysia, Amir Hamzah Azizan, memperkirakan penguatan ringgit karena potensi pemangkasan suku bunga Federal Reserve dan situasi geopolitik yang stabil. Dia menegaskan bahwa Malaysia tidak perlu mematok ringgitnya terhadap dolar AS seperti saat krisis keuangan Asia 26 tahun lalu. Meskipun ringgit mungkin terus melemah dalam jangka pendek, analis valas Asia RBC Capital Markets, Alvin Tan, meragukan bahwa ringgit akan mencapai rekor terendahnya, karena diperkirakan kekuatan dolar AS akan berkurang.
+ There are no comments
Add yours