Melemahnya rupiah terhadap dolar AS memungkinkan beban utang luar negeri Indonesia menjadi bengkak. Terpantau rupiah dijual dengan kisaran Rp 16.200, hal ini menjadi level tertinggi sejak pertama kali Covid-19 melanda Indonesia. Bahkan Mari Elka Pangestu selaku mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, menyatakan kondisi ini dapat terjadi utamanya ketika utang luar negeri pemerintah yang berdenominasi rupiah. Dengan demikian APBN juga ikut melonjak.
Mari melalui program Squawk Box CNBC Indonesia menyatakan, “Pelemahan rupiah tentunya pengaruh ke harga BBM, dan pengaruhi ke pengeluaran serta defisit. Di luar itu tentunya kepada utang, kalau kita lihat pembayaran dari utang luar negeri kita dalam bentuk rupiah juga akan meningkat, jadi semua ini akan pengaruhi dari sisi pengeluaran di APBN kita.”
Hal tersebut berbeda dengan pernyataan DJPPR Kementerian Keuangan yang justru memberi penyangkalan.
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kementerian Keuangan yakni Deni Ridwan menyatakan, “Mostly SBN kita kan fixed rate, jadi tidak terlalu berdampak.”
Lain halnya dengan DJPPR Kementerian Keuangan yang menyangkal tentang beban bunga dan cicilan utang akan mengalami dampak dari turunnya nilai tukar rupiah. Utamanya adanya kupon yang Surat Berharga Negara (SBN) yang didominasi berbentuk kupon tetap.
+ There are no comments
Add yours