Para ekonom menilai bahwa rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 tidaklah tepat. Mereka menyatakan bahwa kebijakan tersebut akan semakin menekan daya beli kelas menengah bawah yang sudah terhimpit oleh kenaikan harga bahan pangan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menganggap bahwa kebijakan tersebut akan memperparah tekanan terhadap daya beli kelas menengah Indonesia yang saat ini sedang menghadapi kenaikan harga pangan, tingginya suku bunga, dan kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Bhima menyatakan keprihatinannya bahwa kenaikan PPN ini dapat menyebabkan penurunan kemampuan belanja masyarakat, dengan dampak langsung terhadap penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, kosmetik, dan perawatan kulit. Selain itu, dia mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini juga akan berdampak pada pelaku usaha, dengan penyesuaian harga yang berpotensi menurunkan omzet dan menyebabkan penurunan jumlah tenaga kerja.
Kepastian mengenai kenaikan tarif PPN tersebut telah dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Airlangga Hartarto, yang merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan yang disahkan sejak 2021. Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, juga menyatakan bahwa kenaikan PPN ini dapat memicu inflasi dan menekan permintaan, terutama pada kelompok kelas menengah bawah dan kelas bawah yang pendapatannya sebagian besar digunakan untuk konsumsi barang kebutuhan pokok.
+ There are no comments
Add yours