SURABAYA — Harga minyak mentah naik ke level tertinggi dalam 10 bulan terakhir karena adanya signal pengetatan yang dipengaruhi oleh pengurangan pasokan dari para pemimpin OPEC+.
West Texas Intermediate melonjak naik di atas US$92 per barel setelah ditutup 0,8 persen lebih tinggi pada hari Senin, (19/9/2023).
Sementara itu, harga minyak Brent untuk kontrak November ditutup 0,5 persen lebih tinggi pada US$94,43 per barel. Kenaikan harga ini berawal dari peningkatan permintaan musiman.
CEO Chevron Corp Mike Wirth menganalisis bahwa harga minyak akan bertambah hingga US$100. Minyak mentah telah meningkat lebih dari 30 persen sejak pertengahan tahun ini dikarenakan Raja Minyak yang dipegang oleh Arab Saudi dan Rusia membatasi ekspor ke pasar global dalam upaya untuk menguras persediaan dan mendorong kenaikan harga. Membaiknya prospek di dua perekonomian terbesar dunia – Amerika Serikat dan Tiongkok – juga mendukung kemajuan minyak.
CEO Saudi Aramco Amin Nasser sangat yakin terhadap prospek permintaan minyak yang semakin bertambah sekaligus meremehkan perkiraan lain mengenai seberapa cepat dunia dapat mengurangi konsumsi minyak mentah.
Nasser memprediksi rekor penggunaan 103 juta hingga 104 juta barel per hari pada paruh kedua tahun ini, dan akan meningkat menjadi 110 juta pada 7 tahun mendatang. Dengan ini, industri terdorong untuk terus mengembangkan sumber produksi baru, daripada menguranginya.
Jeda produksi setelah penurunan permintaan energi yang disebabkan oleh pandemi pada tahun 2020 salah satu faktornya adalah melonjaknya harga migas alam yang mengguncang dunia tahun lalu setelah invasi Rusia ke Ukraina.
“Kita perlu berinvestasi,” tutur Nasser pada konferensi yang diadakan bersamaan dengan Pekan Iklim di New York.
“Jika tidak, dalam jangka menengah dan panjang, kita akan mengalami krisis lagi dan kita akan mengalami kemunduran dalam hal penggunaan lebih banyak batu bara dan produk-produk murah lainnya yang tersedia saat ini. Dan semua upaya dekarbonisasi ini akan sia-sia.” tambahnya.
Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan kerajaannya ingin mendukung transisi ini, namun para politisi harus jujur mengenai tantangan ke depan dan risiko yang akan ditanggung jika peralihan ini tidak dikelola dengan baik.
Pangeran Abdulaziz menginginkan membahas kunci keberhasilan Arab Saudi dalam melakukan transisi pada perekonomiannya tanpa menciptakan sebuah risiko di Kongres Perminyakan Dunia berikutnya, yang dijadwalkan diadakan di Riyadh pada tahun 2026.
Senada dengan itu, Omar Farouk Ibrahim Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Minyak Afrika, mengatakan perekonomian negara-negara yang ia wakili tidak boleh gentar dan terancam oleh transisi ini.
“Mengingat situasi kita yang unik dalam hal pembangunan sosio-ekonomi dan fakta bahwa masalah perubahan iklim bukan disebabkan oleh kita, melainkan oleh negara-negara maju secara ekonomi yang menggunakan bahan bakar fosil, menyerukan kita untuk ikut serta dalam kereta cepat yang sama menuju net zero adalah tindakan yang tidak adil dan menghukum,” terangnya.
+ There are no comments
Add yours