SURABAYA – Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan bahwa kenaikan harga kedelai dalam negeri dipengaruhi oleh fluktuasi harga kedelai global dan nilai tukar rupiah.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menjelaskan, dua aspek krusial tersebut bergitu berpengaruh sebab sampai saat ini pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia masih sangat bergantung dari impor.
“Begitu kita mengimpor dan ketergantungan impor lebih dari 90 persen, maka angkanya ikut impor,” ujar Arief saat diwawancarai di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta Timur, Rabu (13/9/2023).
Dia menuturkan, begitu nilai tukar rupiah terhadap dolar berada di angka Rp15.300 hingga Rp15.400, maka harga kedelai otomatis melonjak drastis.
“Currency rate tahun lalu itu Rp13.500, Rp13.000. Dulu ingat nggak [harga kedelai] masih Rp12.000 atau Rp12.500,” terangnya.
Kebutuhan kedelai dalam negeri tercatat mencapai 3 juta ton. Arief mengatakan, adanya rekomendasi teknis dari Kementerian teknis bertujuan agar kementerian dapat mengelola banyaknya kedelai yang harus diimpor dan yang dibudidayakan di Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Juli 2023 Indonesia telah impor keledai sebanyak 1,62 juta ton dari beberapa negara, seperti Vietnam, Amerika Serikat, Inggris, Thailand, Jepang, China, dan Kanada.
Jika mengamati grafik rekam jejak sebelumnya, Indonesia melakukan impor sebanyak 5,17 juta ton kedelai pada 2018. Jumlahnya naik menjadi 5,34 juta ton pada 2019 dan turun menjadi 3,59 juta ton pada 2020.
Kemudian pada 2021, jumlahnya meningkat menjadi 5,69 juta ton, lalu kembali turun menjadi 2,61 juta ton pada 2022.
Adapun, untuk harga kedelai biji kering (impor) pada ukuran per kilogramnya naik 0,54 persen menjadi Rp13.010 di tingkat pedagang eceran menurut data Panel Harga Bapanas, Rabu (13/9/2023).
Merujuk pada Maluku sebagai wilayah dengan harga kedelai tertinggi yaitu sebesar Rp16.960 per kilogram sedangkan harga terendah sebesar Rp10.860 per kilogram di D.I. Yogyakarta.
+ There are no comments
Add yours