JAKARTA – Indonesia pernah terus mengimpor gula dalam jumlah besar selama periode 2014 hingga 2023, dengan dinamika impor yang fluktuatif dari segi volume dan nilai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), dan National Sugar Summit Indonesia, impor gula Indonesia meningkat secara signifikan, mencapai puncaknya pada 2016 dengan 4,7 juta ton sebelum menurun. Namun, pada 2020 volume impor kembali melonjak menjadi lebih dari 5,5 juta ton. Nilai impor juga menunjukkan pola fluktuatif, dengan peningkatan tajam pada 2022 mencapai sekitar 3 miliar dolar AS. Menurut USDA, Indonesia bahkan menjadi pengimpor gula terbesar dunia pada 2024, melampaui negara-negara besar seperti China dan India.
Ketergantungan pada impor dipicu oleh produksi domestik yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gula nasional. Pada 2023, produksi gula Indonesia hanya mencapai 2,3 juta ton, sedangkan konsumsi mencapai 3,4 juta ton, sehingga impor menjadi solusi untuk menutupi defisit tersebut. Pertumbuhan kebutuhan gula ini tidak hanya berasal dari konsumsi rumah tangga tetapi juga dari industri makanan dan minuman yang berkembang pesat. Tantangan dalam produksi nasional, seperti keterbatasan lahan dan efisiensi, turut memperbesar ketergantungan pada impor. Hal ini menekankan perlunya peningkatan produktivitas pertanian dan inovasi teknologi dalam sektor gula nasional untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Meskipun menteri perdagangan berganti sebanyak enam kali dalam periode 2014-2024, kebijakan impor gula tetap berlanjut. Menteri perdagangan yang menjabat selama periode ini adalah Rachmat Gobel, Tom Lembong, Enggartiasto Lukita, Agus Suparmanto, Muhammad Luthfi, dan Zulkifli Hasan. Baru-baru ini, impor gula kembali menjadi sorotan setelah mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi terkait izin impor gula, yang diduga merugikan negara sekitar Rp 400 miliar.
+ There are no comments
Add yours