BOGOR – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencatat lemahnya perencanaan dan penganggaran daerah yang menyebabkan tidak efektifnya belanja daerah untuk mencapai sasaran kesejahteraan masyarakat. Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh mengatakan, Permasalahan ini terjadi karena penetapan sasaran pembangunan hingga penganggaran tidak dirancang berdasarkan alur logika yang baik, tidak berfokus pada hasil melainkan hanya sebatas seremoni.

“Indikator kinerja ini masih berulang sampai 20 tahun lalu. Orientasinya masih output, dan sebagainya. Ukurannya masih jumlah dokumen, jumlah laporan, jumlah kegiatan, tidak kepada masalah outcome,” ucap Ateh dalam Rakornas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Kamis (7/11/2024). BPKP sendiri telah mencatat total anggaran yang tidak efisien dan tidak efektif yakni mencapai Rp 141,33 triliun dari total pagu lima program prioritas senilai Rr 261,96 triliun.

Ateh merincikan bahwa anggaran untuk peningkatan ketahanan pangan pada 2023 yang sebesar Rp 32,52 triliun dinilai tidak efisien hingga 51,42%, atau setara dengan Rp 16,72 triliun. Sementara itu, anggaran untuk meningkatkan daya saing pariwisata yang sebesar Rp 33,56 triliun, ternyata tidak efisien hingga 58,1%, atau sekitar Rp 19,49 triliun. Di sisi lain, alokasi untuk pemberdayaan UMKM yang sebesar Rp 6,89 triliun tidak efektif hingga 60,53%, program penurunan stunting yang sebesar Rp 52,57 triliun juga dinilai tidak efektif hingga 56%, anggaran pengentasan kemiskinan yang mencapai Rp 136,41 triliun juga dinilai tidak efektif hingga 52,4%. “Ini kalau total di seluruh Indonesia kemarin kami sample kalau rupiahnya yang tidak efektif tidak efisien itu hampir Rp 441 triliun. Ini senang enggak senang ini harus saya sampaikan ke teman-teman pemda,” ucap Ateh.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours