Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa bekerja di pinjol ilegal ternyata berada di bawah payung perusahaan fintech peer-to-peer atau P2P lending resmi. Aktivitas dua kaki bukan hanya soal penagihan, terjadi pula jual-beli data antara perusahaan berizin dengan ‘perusahaan haram’.
Tawaran gaji dan tunjangan hingga Rp7 juta menarik perhatian Dina, seorang lulusan Strata-1 (S1) tahun 2019. Dina dengan cepat menerima tawaran pekerjaan sebagai penagih pinjaman di perusahaan pinjaman online, terutama karena proses rekrutmennya yang mudah. Meskipun sulit mendapatkan pekerjaan, Dina yakin dengan keputusannya karena tugasnya hanya menagih nasabah yang menunggak tanpa batasan tertentu. Namun, ketika mulai bekerja, Dina menyaksikan rekan-rekannya menggunakan kata-kata kasar dan melakukan ‘teror’ penagihan, bahkan dengan menghubungi keluarga nasabah.
Selain itu, Dina menemukan bahwa beberapa perusahaan P2P lending legal memiliki pinjol ilegal, dan data dari aktivitas pinjol ilegal sering dibeli atau diperoleh oleh pemain fintech P2P lending. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melakukan tindakan untuk menutup pinjol ilegal, masih banyak praktik ilegal yang berlangsung, sehingga dibutuhkan kerja sama untuk menindaklanjuti aduan dan memberlakukan sanksi yang tegas. OJK telah menutup 2.481 entitas pinjol ilegal sejak 1 Januari 2023 hingga 13 Februari 2024, tetapi jumlah pengaduan terus tinggi, mencapai 3.121 pengaduan sampai 26 Februari 2024, menunjukkan masih ada pekerjaan yang harus dilakukan dalam menanggulangi pinjol ilegal di Indonesia.
PSE Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, mengungkapkan bahwa banyak pemain pinjol ilegal menggunakan pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Ada dua skema untuk mendaftar sebagai penyelenggara pinjol legal, yaitu mendaftar PSE Kominfo dan kemudian mendaftar di OJK setelah menjadi anggota asosiasi. Wahyudi menyoroti bahwa pinjol ilegal hanya mendaftar sebagai PSE tanpa mendaftar di OJK, yang berujung pada penutupan perizinan aplikasi oleh Kominfo karena tidak memperoleh izin dari OJK. Masalah ini menjadi problematis karena aplikasi pinjol tak terdaftar tidak diawasi oleh regulator, dan pemblokiran aplikasi hanya dilakukan oleh Kominfo jika ada laporan.
Wahyudi menyarankan penjeratan hukum pidana sebagai cara untuk memberikan efek jera terhadap penyelenggara pinjol ilegal, mengacu pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur sanksi pidana khusus untuk penjahat pinjol ilegal. Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, menyesalkan keberadaan pinjol ilegal karena merusak citra penyelenggara pinjol legal yang berizin OJK atau fintech P2P lending resmi. Meskipun pernah terjadi kerjasama antara Perusahaan Jasa Penagihan (PJP) yang merupakan anggota AFPI dengan pinjol ilegal, AFPI menegaskan tindakan tegas dan mencabut keanggotaan perusahaan tersebut, serta melarang fintech P2P lending untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan penagihan semacam itu.
+ There are no comments
Add yours