Calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto mengatakan, Indonesia tidak pernah gagal membayar utang luar negeri. Menurutnya, rasio utang Indonesia juga relatif rendah dibandingkan negara lain. Dalam debat capres ketiga Prabowo mengatakan, “Mengenai utang luar negeri, Indonesia sekarang utang luar negeri kita, sebagai rasio perbandingan terhadap produk domestik bruto kita salah satu terendah di dunia. Jadi itu masih berada di sekitar 40%. Kita tidak pernah default, kita tidak pernah gagal utang,”.
Berdasarkan data pemerintah, faktanya rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang terbilang paling rendah, yakni sekitar 38,65% terhadap PDB per akhir 2022. Sementara itu, berdasarkan data Trading Economics, nilai rasio utang sekitar 39,57% PDB. Rasio utang tersebut jauh lebih rendah dibandingkan negara lain, seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS) yang menyentuh lebih dari 100%.
Sejarah utang luar negeri Indonesia sudah bermula dari presiden pertama RI Soekarno. Proklamator Indonesia tersebut memandang utang luar negeri sebagai penghinaan karena melukai harkat martabat bangsa. Namun, proyek mercusuar yang dibangun Soekarno mulai dari Tugu Monumen Nasional (Monas), Gelora Bung Karno (GBK), hingga sejumlah patung peringatan.
Pada 4 Februari 2000, kembali disetujui sebesar 3,64 miliar SDR dan semua dicairkan. Pinjaman IMF tersebut tidak dicairkan secara langsung tetapi secara bertahap mulai 1997 hingga 2003. Outstanding utang luar negeri pemerintah pun meningkat tajam dari Rp 237 triliun pada 1997 menjadi Rp 581 triliun pada 2000. Semua utang IMF sudah lunas pada Oktober 2006 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemerintah melakukan pembayaran pokok utang senilai US$ 11,1 miliar sepanjang 2001-2006. Adapun pembayaran terakhir dilakukan pada 12 Oktober 2006 senilai 2,15 miliar SDR. Setelah pembayaran tersebut, maka utang Indonesia ke IMF lunas. Sedangkan untuk pembayaran beban dan bunga pinjaman berlangsung sejak 1998-2006 senilai 2,1 miliar SDR dengan pembayaran terakhir dilakukan pada September 2006. Utang dianggap sebagai bagian dari pembiayaan atas defisit anggaran. Pada awal reformasi yakni pada 2000, rasio utang Indonesia membengkak menjadi 70% dari PDB. Outstanding utang pada 2000 membengkak menjadi Rp 1.333 triliun yang terdiri dari utang valas senilai Rp 581 triliun dan rupiah sebesar Rp 652 triliun. Rasio sumber utang bergeser dari mayoritas luar negeri menjadi lebih dari 50% dari dalam negeri.
Sejarah utang Indonesia memulai tonggak baru pada 2002 menerbitkan UU 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Utang melalui penerbitan SBN akan memudahkan pemerintah dalam mengelola APBN karena tidak ada persyaratan khusus yang mengikat seperti halnya pada pinjaman luar negeri. SBN kemudian tidak hanya dijual kepada lembaga/institusi. Pada 2006, pemerintah mulai menjual surat utang ritel kepada masyarakat Indonesia untuk memperkuat basis investor sekaligus mengurangi porsi asing.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mmewajibkan perusahaan asuransi untuk menempatkan investasi mereka minimum 30% ke obligasi. Pemerintah juga memperbanyak penjualan ritel juga diperbanyak menjadi 3-5 kali setahun dari semula 1-2 per tahun. Kondisi ini setidaknya meningkatkan kepemilikan investor ritel dari semula hanya 1% pada awal 2010 kini angkanya sudah melonjak menjadi 7,71% per akhir 2023.
+ There are no comments
Add yours