Rasio pajak Indonesia yang fluktuatif dan cenderung mandek menjadi topik ramai jelang Pilpres 2024. Seperti diketahui, calon presiden (capres) Prabowo Subianto melontarkan sejumlah kritik perihal rasio pajak Indonesia yang kalah dari beberapa negara tetangga di ASEAN. Dalam catatan Prabowo, rasio perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio to GDP Indonesia ada di angka 9,1%. Angka tersebut jauh di bawah Kamboja (18,4%) dan Vietnam (12,3%).
Dikutip dari data Kementerian Keuangan, rasio penerimaan pajak Indonesia mencapai 10,39% dari PDB Harga Berlaku yang totalnya Rp19.588,4 triliun pada 2022. Capaian tax ratio yang tumbuh signifikan dari 9,21% pada tahun 2021. Perbaikan rasio pajak didorong oleh ekspor dan kenaikan harga komoditas RI. Mengacu Peraturan Presiden No. 52/2023 tentang Rencana kerja Pemerintah 2024, tax ratio ditargetkan sebesar 10%-10,2% pada 2024. Target ini lebih rendah dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di angka 10,7%-12,3%.
Sementara itu, pemerintah dalam Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak 2022 yang baru terbit pada awal Desember 2023, menargetkan rasio pajak 2024 sebesar 8,59%-9,55% atau turun jika dibandingkan target RPJMN dan Perpres. Besaran target ini terbilang rendah jika dibandingkan realisasi negara-negara ASEAN di atas. Bahkan, ada yang menarik, target ini nyaris sama dengan realisasi rasio pajak di negara Asia yang tengah dilanda krisis, yakni Sri Lanka. Ekonomi Negeri Ceylon itu berkontraksi alias minus 7,8% di tahun lalu.
Namun, laporan terbaru menunjukkan rasio pajak Sri Lanka mencapai 10,1% pada Juni 2023. Ini adalah peningkatan signifikan dibandingkan 7,9% dibandingkan Maret 2023. Ternyata, negara ini melakukan reformasi perpajakan. Paket reformasi perpajakan yang dipimpin pemerintah telah dilaksanakan sejak Mei 2022. Hal ini mencakup penerapan pajak baru, berbagai penyesuaian tarif dan basis pajak, serta niat untuk meningkatkan efisiensi pengumpulan pajak dan meningkatkan kepatuhan.
Menurut laporan Bank Dunia, pembaruan pembangunan Sri Lanka terbaru berfokus pada kemajuan reformasi yang sedang berlangsung, kesenjangan, rekomendasi dan prospek masa depan.
“Sri Lanka telah melakukan reformasi penting sejak awal krisis ekonomi. Tetap mengikuti reformasi sambil mengelola risiko fiskal sangat penting untuk memulihkan jalur pertumbuhan yang berkelanjutan,” kata Faris H. Hadad-Zervos, World Bank Country Director untuk Maladewa, Nepal, dan Sri Lanka.
“Upaya saat ini untuk memobilisasi pendapatan pajak harus dibarengi dengan reformasi berkelanjutan menuju transparansi pengeluaran untuk membangun kepercayaan publik dan memberikan layanan publik yang lebih baik,” tambahnya.
+ There are no comments
Add yours