Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki kewenangan yang besar dalam melakukan audit baik terhadap pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Superioritas itu dianggap memunculkan celah yang besar terhadap praktik korupsi. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan BPK adalah lembaga tunggal yang diberikan kewenangan untuk mengaudit keuangan negara. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Menurut Tauhid pengawasan terhadap BPK masih lemah, kewenangan yang besar dan tidak disertai pengawasan yang cukup inilah yang menyebabkan auditor BPK hingga pimpinannya rentan terjerat korupsi. BPK menjadi sorotan setelah dua pimpinannya terseret kasus korupsi jual-beli audit. Kejaksaan Agung menetapkan Achsanul menjadi tersangka kasus korupsi proyek BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dia ditengarai menerima uang Rp 40 miliar untuk mengkondisikan hasil audit BPK terkait proyek menara pemancar tersebut. Sementara, Pius terseret kasus korupsi jual-beli audit BPK di Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Dalam kasus itu, KPK menyegel dan menggeledah ruang kerja Pius, serta menyita sejumlah dokumen.
Sebelumnya, mantan anggota BPK Rizal Djalil divonis 4 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama karena menerima suap dari korupsi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman punya pendapat serupa dengan Tauhid. Zaenur berpendapat, BPK memiliki kewenangan yang sangat besar, namun minim pengawasan. Dia berpendapat mekanisme pengawasan internal harus memastikan kepatuhan dari insan BPK terhadap hukum dan peraturan perundangan. Selain itu, Zaenur menyarankan BPK harus punya mekanisme pelaporan atau whistle blowing system.
+ There are no comments
Add yours