Belakangan ini marak terjadi kasus pembobolan bank yang mengakibatkan kerugian pada nasabah. Nilai kerugiannya pun mencapai puluhan juta hingga miliar rupiah. Di antaranya, nasabah PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) di Salatiga yang kehilangan saldo Rp 68,5 juta dari rekeningnya melalui transaksi QRIS. Kemudian, nasabah PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali rugi Rp21,59 miliar dari dana nasabah karena dugaan pembobolan atau peretasan transaksi ilegal.
Menanggapi hal ini, Pengamat Teknologi Heru Sutadi menyebut kejahatan siber di Indonesia akan terus meningkat baik secara kualitas dan kuantitas. Heru yang merupakan Direktur Eksekutif ICT Institute, mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara peringkat kedua di dunia yang paling sering terkena serangan siber. RI berada satu peringkat di bawah Prancis. Heru mengatakan ketika ada peristiwa-peristiwa kejahatan siber seperti yang menimpa kedua bank tersebut, harus ada tindakan segera dari pemerintah. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) maupun Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus memastikan penyebab dari masalah ini dan melakukan mitigasi. “Tata kelola keamanan siber dan keamanan data kita juga perlu diubah. Jangan ada insiden kemudian didiamkan. Ketika didiamkan, kita tidak belajar. Seperti kejadian di BCA ini kan sudah berulang kali,” ujar Heru.
Sementara itu, Pakar Keamanan Siber Alfons Tanujaya mengatakan bank seharusnya memiliki bukti perangkat dalam transaksi QRIS seperti fingerprint perangkat, Internet Protocol (IP) address, dan posisi perangkat ketika bertransaksi. Menurutnya, dalam kasus seperti pembobolan BCA melalui QRIS tersebut, ada cara mudah tanpa perlu bukti forensik digital. Seperti diberitakan sebelumnya, Evita, nasabah tersebut mengaku telah terjadi transaksi QRIS berulang kali yang tidak ia ketahui. Ia menyatakan tidak mendapatkan kode One Time Password (OTP) atau email konfirmasi apapun pada saat transaksi misterius tersebut terjadi.
Tercatat transaksi dilakukan pada 26 September 2023, saat Evita sedang mendaki Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Dengan demikian mustahil dapat terjadi transaksi melalui handphone yang tidak mendapatkan jaringan. Rekam jejaknya pun dapat dibuktikan melalui GPS. Meskipun begitu, Evita mengaku kesulitan dalam memperjuangkan uangnya, karena pihak BCA meminta bukti rekaman CCTV bahwa handphone miliknya itu terus berada di genggamannya.
+ There are no comments
Add yours