Penggunaan bioavtur diproyeksikan bakal mengerek harga tiket pesawat sebesar US$3-US$14 pada 2030. General Manager Green Energy Apical Group Aika Yuri Winata mengatakan, kenaikan harga tiket pesawat yang menggunakan bioavtur disebabkan oleh biaya produksi yang tinggi dan pasokan terbatas. Aika mengatakan bahkan tiket pesawat diperkirakan akan naik sekitar US$13 – US$38 pada 2050 untuk penerbangan yang lebih berkelanjutan. “Biaya tambahan dari adopsi SAF [Sustainable Aviation Fuel] diperkirakan mencapai miliaran hingga triliunan dolar bagi produsen bahan bakar,” ujar Aika di Indonesian Palm Oil Conference (IPOC), Kamis (2/11/2023).
Menurutnya, korporasi telah menjalin kemitraan dengan Cepsa untuk membangun pabrik biofuel generasi kedua di Eropa Selatan dengan kapasitas 500.000 ton per tahun untuk memproduksi bioavtur dari limbah pertanian. Aika menyebut, upaya transisi ke bioavtur dapat mengurangi emisi karbon hingga 90% atau setara dengan pengurangan substansial sebanyak 1,5 juta ton CO2 per tahun.
Dia menambahkan, Asean mampu menawarkan lebih dari 16 juta metrik ton limbah minyak nabati setiap tahunnya seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan destilasi asam lemak kelapa sawit. Harga bahan baku tersebut dianggap relatif lebih rendah dan berpotensi menjadi kunci dalam produksi bioavtur secara masal.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan produksi bioavtur bakal dilakukan secara masif mulai 2026. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan, saat ini proses uji coba bioavtur sudah dilakukan dengan campuran 2,4% minyak nabati dalam bahan bakar pesawat dan berhasil.
+ There are no comments
Add yours