Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk segera mengatasi permasalahan usulan tarif jasa kepelabuhan yang dinilai menjadi hambatan bagi perusahaan batu bara khususnya dalam aktivitas pengapalan batu bara untuk diekspor maupun untuk memasok kebutuhan domestik. Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia mengatakan bahwa pemerintah harus segera turun tangan untuk mengatasi hambatan yang diklaim oleh pengusaha batu bara khususnya perusahaan penyewaan floating crane (FC) dan floating loading facility (FLF), dan perusahaan bongkar muat (PBM) yang tidak bisa menjalankan aktivitasnya karena adanya aturan tersebut.
Sebelumnya, Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir menyatakan, tarif yang ditetapkan sepihak tanpa mempertimbangkan masukan dari para pihak yang terdampak seperti penambang dalam kapasitas sebagai “shipper”, perusahaan penyewaan floating crane (FC) dan floating loading facility (FLF), perusahaan bongkar muat (PBM). Tercatat, ada sekitar 20 perusahaan anggota APBI-ICMA (shipper) beroperasi di Muara Berau yang keberatan dengan tarif yang menambah beban biaya yang belum disepakati oleh pihak shipper.
Pandu menyatakan, usulan dan rekomendasi dari APBI-ICMA tidak dipertimbangkan antara lain karena di dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 121 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 72 Tahun 2017 tentang Jenis, Struktur, Golongan dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa Kepelabuhanan di Pasal Pasal 18 ayat (1) huruf b (2), APBI- ICMA tidak termasuk sebagai pihak pengguna jasa. Oleh karena itu, APBI dalam surat yang disampaikan ke Menteri Perhubungan memohon agar Pemerintah mengkaji kembali tarif jasa kepelabuhanan yang telah ditetapkan dan merevisi PM 121/2018 serta melibatkan APBI-ICMA sebagai pihak pengguna jasa yang dilibatkan secara resmi dalam pembahasan rekomendasi usulan tarif jasa kepelabuhanan.
+ There are no comments
Add yours